Selamat datang diblog sederhana ini, tempat berbagi, saling bertukar informasi dan peluang usaha..semoga bermanfaat

29 November 2010

4 Cara Untuk Lebih Sehat

4 Rahasia Orang yang Jarang Sakit
Mandi air dingin bisa membantu meningkatkan jumlah sel-sel darah putih.
Jumat, 26/11/2010 | 17:02 WIB
KOMPAS.com — Di antara rekan-rekan kerja Anda, pasti ada orang yang sering sakit. Entah itu flu, diare, meriang, maag, atau apalah.... Rasanya sakit menjadi salah satu sahabatnya. Tetapi, ada juga orang yang terlihat selalu fit dan tak pernah sakit. Ia tidak pernah masuk angin, bersin, atau radang tenggorokan. Orang ini tak pernah absen selama masa kerjanya yang 10 tahun. Pasti Anda ingin tahu apa resepnya agar selalu fit.
Dalam bukunya, The Secrets of People Who Never Get Sick, Gene Stone memaparkan hasil risetnya mengenai apa yang menyebabkan seseorang bisa selalu sehat. Menurutnya, ada beberapa hal mengejutkan yang bisa kita lakukan untuk mengusir penyakit dan infeksi.

1. Mandi air dingin
Banyak orang yang takut mandi air dingin, bahkan khawatir akan gampang masuk angin bila mandi tanpa air hangat. Tetapi, menurut Stone, penelitian menunjukkan bahwa mandi air dingin bisa membantu meningkatkan jumlah sel-sel darah putih. Sel-sel darah putih ini bisa membantu mengusir penyakit dari tubuh Anda.

2. Mengunyah bawang putih mentah
Pilih mana, napas Anda dibilang bau bawang atau sehat? Sekali lagi Stone menunjukkan hasil penelitian, di mana bawang putih disebut memiliki senyawa antimikroba yang kuat, yang bisa membantu Anda tetap sehat. Agar napas Anda tidak terlalu beraroma bawang putih, geprek bawang lebih dulu, lalu telan semuanya dengan menggunakan satu sendok teh saus apel.

3. Minum air panas yang diberi ragi bir
Seperti apa rasanya? Hm... perlukah dibahas lebih lanjut? Yang pasti, ramuan ini telah terbukti mampu mengusir virus influenza, diare, dan infeksi saluran pernapasan. 

4. Hanya minum minuman panas
Misalnya, air hangat yang diberi perasan jeruk, teh, kopi, atau apa pun yang disajikan hangat atau panas. Minum lebih banyak cairan panas selama musim flu bisa meningkatkan sistem kekebalan tubuh Anda.

sumber: kompas.com

15 November 2010

Kalau Benar Terjadi, Berarti Ini Bid'ah Untuk Kali ke Dua Bagi Negeri Ini

Tidak lama lagi kita akan berjumpa dengan salah satu hari raya Umat Islam, yakni Idul Adha atau hari raya kurban. Namun, beberapa hari ini penulis mengalami kerisauan seputar Hari Raya Idul adha ini, tidak lain adalah karena sebagaimana yang kita ketahui atau baca dan mungkin dengar di media cetak maupun elektronik bahwa sepertinya perayaan hari raya Idul Adha tahun ini sepertinya akan mengalami perbedaan.
Bagi saya sendiri, jika saya tidak salah ingat, hal ini juga pernah terjadi di tahun 2007 yang lalu. inilah kenapa judul catatan ini saya buat dengan kalimat "Kalau benar terjadi, berarti ini Bid'ah untuk kali ke dua bagi negeri ini."
Pemerintah Indoensia, sebagaimana yang bisa kita baca pada beberapa media elektronik dan cetak seperti di Media Indonesia diberitiakan bahwa Kementerian Agama menetapkan 1 Zulhijah atau Idul Adha 1431 Hijriyah jatuh pada 17 November 2010. Hal itu diputuskan melalui sidang isbat yang digelar Badan Rukyat dan Hisab Kementerian Agama di Jakarta, Senin (8/11). (METROTVNESW)
REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA Pemerintah menetapkan hari raya idul Adha 1431 H jatuh pada Rabu 17 November 2010. Keputusan ini diambil melalui sidang itsbat Badan Hisab Rukyat (BHR) yang melibatkan ormas, akademisi dan para pakar di bidang astronomi.
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sidang istbat atau rapat resmi penetapan awal Dzulhijjah dan hari raya Idul Adha 1431 H bersama Kementerian Agama (Kemenag) sudah digelar Senin (8/11/2010). Pemerintah menetapkan hari ini adalah awal Dzulhijjah.
Jakarta (ANTARA News) - Badan Hisab dan Rukyat Kementerian Agama RI menetapkan Hari Raya Idul Adha 1431 Hijriyah atau 10 Dzulhijjah jatuh pada Rabu, 17 November 2010.
Berarti kita bisa pastikan bahwa perayaan Idul Adha di negeri in akan dirayakan pada 17 November 2010.
Padahal sebagaimana kita ketahui bersama bahwa Kantor berita Arab Saudi, SPA, Minggu (7/11) menyebutkan, bahwa Idul Adha 10 Dzulhijjah 1431 Hijriah jatuh pada Selasa, 16 November 2010. penetapan itu dilakukan setelah otoritas berwenang di Saudi melakukan pengamatan bulan pada Sabtu (6/11) malam yang diperkuat dengan hasil penghitungan para astronom resmi di Saudi.
Artinya, sekitar 1,5 juta calon haji dari seluruh dunia akan memulai ritual haji diawali dengan Wukuf di Arafah pada 15 November 2010.
PENENTUAN IDUL ADHA MENURUT 'ULAMA MADZHAB
kapasitas penulis bukanlah dalam kapasitas yang menjelaskan hukum seputar metode penentuan Idul Adha karena keterbatasan yang penulis sadari .
Disini penulis hanya mengurai kembali tulisan yang pernah di buat oleh K.H Muhammad Shiddiq Al-Jawi yang pada tahun 2007 membuat tulisan ketika menyoroti perbedaan yang terjadi pada waktu itu seputar pelaksanaan Sholat Idul adha.
Para ulama mujtahidin telah berbeda pendapat dalam hal mengamalkan satu ru’yat yang sama untuk Idul Fitri. Madzhab Syafi’i menganut ru’yat lokal, yaitu mereka mengamalkan ru’yat masing-masing negeri. Sementara madzhab Hanafi, Maliki, dan Hanbali menganut ru’yat global, yakni mengamalkan ru’yat yang sama untuk seluruh kaum Muslim. Artinya, jika ru’yat telah terjadi di suatu bagian bumi, maka ru’yat itu berlaku untuk seluruh kaum Muslim sedunia, meskipun mereka sendiri tidak dapat meru’yat.
Namun, khilafiyah semacam itu tidak ada dalam penentuan Idul Adha. Sesungguhnya ulama seluruh madzhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i dan Hanbali) telah sepakat mengamalkan ru’yat yang sama untuk Idul Adha. Ru’yat yang dimaksud, adalah ru’yatul hilal (pengamatan bulan sabit) untuk menetapkan awal bulan Dzulhijjah, yang dilakukan oleh penduduk Makkah. Ru’yat ini berlaku untuk seluruh dunia.
Karena itu, kaum Muslim dalam sejarahnya senantiasa beridul Adha pada hari yang sama. Fakta ini diriwayatkan secara mutawatir (oleh orang banyak pihak yang mustahil sepakat bohong) bahkan sejak masa kenabian, dilanjutkan pada masa Khulafa’ ar-Rasyidin, Umawiyin, Abbasiyin, Utsmaniyin, hingga masa kita sekarang.
Namun meskipun penetapan Idul Adha ini sudah ma’luumun minad diini bidl dlaruurah (telah diketahui secara pasti sebagai bagian integral ajaran Islam), anehnya pemerintah Indonesia dengan mengikuti fatwa sebagian ulama telah berani membolehkan perbedaan Idul Adha di Indonesia.
Jadilah Indonesia sebagai satu-satunya negara di muka bumi yang tidak mengikuti Hijaz dalam beridul Adha. Sebab, Idul Adha di Indonesia sering kali jatuh pada hari pertama dari Hari Tasyriq (tanggal 11 Dzulhijjah), dan bukannya pada Yaumun-nahr atau hari penyembelihan kurban (tanggal 10 Dzulhijjah).
Kewajiban kaum Muslim untuk beridul Adha (dan beridul Fitri) pada hari yang sama, telah ditunjukkan oleh banyak nash-nash syara’. Di antaranya adalah sebagai berikut :
Hadits A’isyah RA, dia berkata “Rasulullah SAW telah bersabda :
Idul Fitri adalah hari orang-orang (kaum Muslim) berbuka. Dan Idul Adha adalah hari orang-orang menyembelih kurban.” (HR. At-Tirmidzi dan dinilainya sebagai hadits shahih; Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1305).
Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits yang serupa dari shahabat Abu Hurairah RA dengan lafal :
Bulan Puasa adalah bulan mereka (kaum muslimin) berpuasa. Idul Fitri adalah hari mereka berbuka. Idul Adha adalah hari mereka menyembelih kurban.” (HR.Tirmidzi) Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 697, hadits no 1306)
Imam At-Tirmidzi berkata, “Sebagian ahlul ‘ilmi (ulama) menafsirkan hadits ini dengan menyatakan :
Sesungguhnya makna shaum dan Idul Fitri ini adalah yang dilakukan bersama jama’ah [masyarakat muslim di bawah pimpinan Khalifah/Imam] dan sebahagian besar orang.” (Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 699)
Sementara itu Imam Badrudin Al-‘Aini dalam kitabnya Umdatul Qari berkata, “Orang-orang (kaum Muslim) senantiasa wajib mengikuti Imam (Khalifah). Jika Imam berpuasa, mereka wajib berpuasa. Jika Imam berbuka (beridul Fitri), mereka wajib pula berbuka.”
Hadits di atas secara jelas menunjukkan kewajiban berpuasa Ramadhan, beridul Fitri, dan beridul Adha bersama-sama orang banyak (lafal hadits: an-Naas), yaitu maksudnya bersama kaum Muslim pada umumnya, baik tatkala mereka hidup bersatu dalam sebuah negara khilafah seperti dulu, maupun tatkala hidup bercerai-cerai dalam kurungan negara-kebangsaan seperti saat ini setelah hancurnya khilafah di Turki tahun 1924.
Maka dari itu, seorang muslim tidak dibenarkan berpuasa sendirian, atau berbuka sendirian (beridul Fitri dan beridul Adha sendirian). Yang benar, dia harus berpuasa, berbuka dan berhari raya bersama-sama kaum Muslim pada umumnya.
(2) Hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, dia berkata: “Sesungguhnya Amir (Wali) Makkah pernah berkhutbah dan berkata :
Rasulullah SAW mengamanatkan kepada kami untuk melaksanakan manasik haji berdasarkan ru’yat. Jika kami tidak berhasil meru’yat tetapi ada dua saksi adil yang berhasil meru’yat, maka kami melaksanakan manasik haji berdasarkan kesaksian keduanya.” (HR Abu Dawud [hadits no 2338] dan Ad-Daruquthni [Juz II/167]. Imam Ad-Daruquthni berkata,’Ini isnadnya bersambung [muttashil] dan shahih.’ Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 841, hadits no 1629)
Hadits ini dengan jelas menunjukkan bahwa penentuan hari Arafah dan hari-hari pelaksanaan manasik haji, telah dilaksanakan pada saat adanya Daulah Islamiyah oleh pihak Wali Makkah. Hal ini berlandaskan perintah Nabi SAW kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan hari dimulainya manasik haji berdasarkan ru’yat.
Di samping itu, Rasulullah SAW juga telah menetapkan bahwa pelaksanaan manasik haji (seperti wukuf di Arafah, thawaf ifadlah, bermalam di Muzdalifah, melempar jumrah), harus ditetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Makkah sendiri, bukan berdasarkan ru’yat penduduk Madinah, penduduk Najd, atau penduduk negeri-negeri Islam lainnya.
Dalam kondisi tiadanya Daulah Islamiyah (Khilafah), penentuan waktu manasik haji tetap menjadi kewenangan pihak yang memerintah Hijaz dari kalangan kaum Muslim, meskipun kekuasaannya sendiri tidak sah menurut syara’. Dalam keadaan demikian, kaum Muslim seluruhnya di dunia wajib beridul Adha pada Yaumun nahr (hari penyembelihan kurban), yaitu tatkala para jamaah haji di Makkah sedang menyembelih kurban mereka pada tanggal 10 Dzulhijjah. Dan bukan keesokan harinya (hari pertama dari Hari Tasyriq) seperti di Indonesia.
(3) Hadits Abu Hurairah RA, dia berkata :
Sesungguhnya Rasulullah SAW telah melarang puasa pada Hari Arafah, di Arafah” (HR. Abu Dawud, An Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah dalam Shahihnya, Lihat Imam Syaukani, Nailul Authar, [Beirut : Dar Ibn Hazm, 2000], hal. 875, hadits no 1709).
Berdasarkan hadits itu, Imam Asy-Syafi’i berkata, “Disunnahkan berpuasa pada Hari Arafah (tanggal 9 Dhulhijjah) bagi mereka yang bukan jamaah haji.”
Hadits di atas merupakan dalil yang jelas dan terang mengenai kewajiban penyatuan Idul Adha pada hari yang sama secara wajib ‘ain atas seluruh kaum Muslim. Sebab, jika disyari’atkan puasa bagi selain jamaah haji pada Hari Arafah (=hari tatkala jamaah haji wukuf di Padang Arafah), maka artinya, Hari Arafah itu satu adanya, tidak lebih dari satu dan tidak boleh lebih dari satu.
Karena itu, atas dasar apa kaum Muslim di Indonesia justru berpuasa Arafah pada hari penyembelihan kurban di Makkah (10 Dzulhijjah), yang sebenarnya adalah hari raya Idul Adha bagi mereka? Dan bukankah berpuasa pada hari raya adalah perbuatan yang haram? Lalu atas dasar apa pula mereka Shalat Idul Adha di luar waktunya dan malahan shalat Idul Adha pada tanggal 11 Dzulhijjah (hari pertama dari Hari Tasyriq)?
Sungguh, fenomena di Indonesia ini adalah sebuah bid’ah yang munkar (bid’ah munkarah), yang tidak boleh didiamkan oleh seorang muslim yang masih punya rasa takut kepada Allah dan azab-Nya!
Sebahagian orang membolehkan perbedaan Idul Adha dengan berlandaskan hadits:
Berpuasalah kalian karena telah meru’yat hilal (mengamati adanya bulan sabit), dan berbukalah kalian (beridul Fitri) karena telah meru’yat hilal. Dan jika terhalang pandangan kalian, maka perkirakanlah !”
Beristidlal (menggunakan dalil) dengan hadits ini untuk membolehkan perbedaan hari raya (termasuk Idul Adha) di antara negeri-negeri Islam dan untuk membolehkan pengalaman ilmu hisab, adalah istidlal yang keliru.
Kekeliruannya dapat ditinjau dari beberapa segi :
Pertama, Hadits tersebut tidak menyinggung Idul Adha dan tidak menyebut-nyebut perihal Idul Adha, baik langsung maupun tidak langsung. Hadits itu hanya menyinggung Idul Fitri, bukan Idul Adha. Maka dari itu, tidaklah tepat beristidlal dengan hadits tersebut untuk membolehkan perbedaan Idul Adha berdasarkan perbedaan manzilah (orbit/tempat peredaran) bulan dan perbedaan mathla’ (tempat/waktu terbit) hilal, di antara negeri-negeri Islam.
Selain itu, mathla’ hilal itu sendiri faktanya tidaklah berbeda-beda. Sebab, bulan lahir di langit pada satu titik waktu yang sama. Dan waktu kelahiran bulan ini berlaku untuk bumi seluruhnya. Yang berbeda-beda sebenarnya hanyalah waktu pengamatan, ini pun hanya terjadi pada jangka waktu yang masih terhitung pada hari yang sama, yang lamanya tidak lebih dari 12 jam.
Kedua, hadits tersebut telah menetapkan awal puasa Ramadhan dan Idul Fitri berdasarkan ru’yatul hilal, bukan berdasarkan ilmu hisab. Pada hadits tersebut tak terdapat sedikit pun “dalalah” (pemahaman) yang membolehkan pengalaman ilmu hisab untuk menetapkan awal bulan Ramadlan dan hari raya Idul Fitri. Sedangkan hadits Nabi yang berbunyi: “(……jika pandangan kalian terhalang), maka perkirakanlah hilal itu!” maksudnya bukanlah perkiraan berdasarkan ilmu hisab, melainkan dengan menyempurnakan bilangan Sya’ban dan Ramadhan sejumlah 30 hari, bila kesulitan melakukan ru’yat.
Ketiga, Andaikata kita terima bahwa hadits tersebut juga berlaku untuk Idul Adha dengan jalan Qiyas –padahal Qiyas tidak boleh ada dalam perkara ibadah, karena ibadah bersifat tauqifiyah– maka hadits tersebut justru akan bertentangan dengan hadits Husain Ibn Al-Harits Al-Jadali RA, yang bersifat khusus untuk Idul Adha dan manasik haji. Dalam hadits tersebut, Nabi SAW telah memberikan kewenangan kepada Amir (Wali) Makkah untuk menetapkan ru’yat bagi bulan Dzulhijjah dan untuk menetapkan waktu manasik haji berdasarkan ru’yat penduduk Makkah (bukan ru’yat kaum Muslim yang lain di berbagai negeri Islam).
Berdasarkan uraian ini, maka Indonesia tidak boleh berbeda sendiri dari negeri-negeri Islam lainnya dalam hal penentuan hari-hari raya Islam. Indonesia tidak boleh menentang ijma’ (kesepakatan) seluruh kaum Muslim di seantero pelosok dunia, karena seluruh negara menganggap bahwa tanggal 10 Dzulhijjah di tetapkan berdasarkan ru’yat penduduk Hijaz. Sungguh, tak ada yang menyalahi ijma’ kaum Muslim itu, selain Indonesia !
Lagi pula, atas dasar apa hanya Indonesia sendiri yang menentang ijma’ tersebut dan berupaya memecah belah persatuan dan kesatuan kaum Muslim? Apakah Indonesia berambisi untuk menjadi negara pertama yang mempelopori suatu tradisi yang buruk (sunnah sayyi’ah) sehingga para umaro’ dan ulama di Indonesia akan turut memikul dosanya dan dosa dari orang-orang yang mengamalkannya hingga Hari Kiamat nanti?
Kita percaya sepenuhnya, perbedaan hari raya di Dunia Islam saat ini sesungguhnya terpulang kepada perbedaan pemerintahan dan kekuasaan Dunia Islam, yang terpecah belah dan terkotak-kotak dalam 50-an lebih negara kebangsaan yang direkayasa oleh kaum kafir penjajah.
Kita percaya pula sepenuhnya, bahwa kekompakan, persatuan, dan kesatuan Dunia Islam tak akan tewujud, kecuali di bahwa naungan Khilafah Islamiyah Rasyidah. Khilafah ini yang akan mempersatukan kaum Muslim di seluruh dunia, serta akan memimpin kaum Muslim untuk menjalani kehidupan bernegara dan bermasyarakat berdasarkan Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Insya Allah cita-cita ini dapat terwujud tidak lama lagi !
Ya Allah, kami sudah menyampaikan, saksikanlah ! (Adi Victoria;al_ikhwan1924@yahoo.com)

sumber: eramuslim.com

11 November 2010

Obama..oh..Obama

Tuntas sudah perhelatan 24 jam itu. Perhelatan 'akbar' yang dicemaskan dan dinantikan dengan begitu tegang oleh pemerintah. Ya, tegang, saking tegangnya boleh jadi pemerintah menjadi gagap bin gugup dalam mempersiapkan penyambutan. Bagaimana tidak, beberapa hari sebelum kedatangan sang presiden negara adidaya yang suka adi-paksa dan berlaku adigang-adigung-adiguna itu, berbagai tempat penting dan tempat-tempat yang direncanakan akan di'duduki' sang presiden sudah disterilkan dari orang-orang yang tidak berkepentingan. Istana negara, Masjid Istiqlal, kampus UI Depok dan bahkan makam tempat orang mati-pun disterilkan.

Obama memang fenomena. Seorang yang terlahir dari keturunan kulit hitam, ras yang dianggap rendah oleh orang-barat selama berabad-abad bahkan mungkin sampai saat ini anggapan miring bagi mereka masih melekat, mampu membalikkan prediksi dan presisi para peramal modern dengan alat polling-nya. Obama mampu menjadi presiden negara adikuasa saat ini dengan mengalahkan pesaingnya yang kulit putih. Bukan sampai disini saja, Obama yang 'kebetulan' memiliki keluarga besar muslim di Kenya sungguh menakjubkan. Beberapa pernyataan dan langkahnya setelah dilantik sebagai presiden mampu memberi nuansa 'penyejuk' bagi pergolakan dunia. 
Obama sejauh ini mampu 'mengambil hati' masyarakat hampir disemua belahan dunia. Pidatonya mengundang decak kagum dan simpati dimana-mana, tak ketinggalan ketika dia berpidato di UI. Betapa menarik, egaliter, penuh canda dan tanpa canggung dan kepura-puraan Obama menerima uluran jabat tangan siapa saja. Kedatangannya diberbagai negara dapat dia 'rasai' sebagai tamu dan sahabat, bukan sebagai kepala negara yang congkak.

Obama, walaupun begitu, tentu banyak juga tokoh yang menilai negatif dari sang presiden. Hal ini sebenanrnya jauh lebih dikarenakan dia sebagai presiden sebuah negara yang selama ini banyak menyengsarakan negara lain, utamanya negara yang menentang Amerika. Presiden yang negaranya amat senang menyerang negara lain tanpa alasan yang benar, dengan kata lain yang lebih vulgar, dia adalah presiden negara penjajah. Meskipun kini negara itu tengah limbung oleh kepongahannya sendiri.

Obama..oh..Obama...

9 November 2010

Bencana dan Tauhid Bangsa

Rasanya kering sudah air mata ini. Kesedihan demi kesedihan melihat bencana diseluruh negeri yang nyaris tiada henti, susul menyusul seperti antri datang silih berganti. Mulai dari yang 'kecil-kecil' karena tidak memakan korban jiwa atau kalaupun ada hanya beberapa, samapai bencana yang super dahsyat dengan korban ratusan ribu manusia. Dari Aceh sampai Papua, dari timur sampai barat dari utara sampai selatan semua seolah bergolak dengan satu 'tangan' komando yang tak kasat mata.

Musibah adalah ujian...ya..kata-kata inilah yang sering keluar dari orang-orang bijak, meskipun wallohu a'lam, kita tidak tau, apakah musibah yang terus menerus ini ujian, bala' atau adzab karena kelakuan dan tingkah polah manusia penghuni negeri ini yang telah kelewatan. Tidak saja menentang hukum alam, namun dengan telanjang dan terang-terangan sudah berani menantang hukum Tuhan. Segala bentuk kemaksiatan dan kekafiran sepertinya lengkap dinegeri ini. Mulai dari pelacuran, khomr, judi, sampai hubungan sesama jenis yang minta diakui dan dilegalkan oleh negara. Pelaku penyimpangan apapun, baik penyimpangan seksual, penyimpangan perilaku dan penyimpangan moral harus diterima sama derajatnya ditengah masyarakat. Justeru orang yang melakukan sesuatu yang dibolehkan Tuhan dikecam, dihina dan dilecehkan martabatnya didepan umum dan media. Masih ingat kasus Syech Puji yang nikah dengan anak 'dibawah umur'? padahal sudah baligh dan tanpa paksaan maupun kekerasan namun dianggap melanggar 'peraturan'? Seorang ustadz kondang yang melakukan poligami 'dihakimi' sedemikian rupa sehingga beliau seolah-olah telah melakukan suatu dosa besar? Ulama yang bersahaja dan sudah renta dianggap orang yang sangat berbahaya sehingga harus dikerangkeng dibalik jeruji dengan tuduhan yang tidak jelas sampai sekarang? Dan masih banyak lagi ironi dan kecongkakan pelaku kedurhakaan pada Tuhan dinegeri ini.

Sungguh membuat miris dihati, ketika musibah itu terjadi...lagi-lagi tidak ada para penguasa negeri ini yang menyerukan untuk instropeksi diri, mengajak pendekatan diri pada Ilahi, mengajak bertaubat sepenuh hati dengan tentu saja harus menyantuni mereka yang menjadi korban semua musibah yang terjadi. Tidak ditemukan anjuran nasional dari seorang pemimpin untuk taubatan nasuha seluruh negeri. Ternyata tidak ada lagi tauhid sebuah bangsa yang beragama ini. Jadi apakah yang terjadi selama ini musibah? bencana? atau adzab? Alloh-lah yang tahu segala-galanya.Hanya kepadaNya kita mohon pertolongan dan perlindungan