Selamat datang diblog sederhana ini, tempat berbagi, saling bertukar informasi dan peluang usaha..semoga bermanfaat

22 Desember 2011

Abdullah bin Rawahah tetap Berpuasa Ketika Berjihad

oleh Aid Abdullah al-Qarni
Ibnul Qayyim dalam bukunya yag berjudul Thariiqatul Hijratain mengatakan sebagai berikuti: "Sebagian dari mereka ada yang datang, lalu ia diberi taufiq untuk mengerjakan suatu amal ibadah, hingga layak untuk memasuki pintunya".
Adapun dengan orang-orang yang sempurna, maka mereka mengambil dari setiap ghanimah suatu bagiannya. Oleh karena itu, anda akan menjumpainya ahl dalam shalat bersama dengan ahli shalat, ahli dalam dzikir bersama dengan ahli dzikir, dan ahli dalam bershadaqah bersama dengan ahli shadaqah. Yang demikian itu merupakan karunia dari Allah yang diberikan kepada siapa yang dikehendaki-Nya dan Allah mempunyai karunia yang besar.
Abu Bakar ra termasuk orang yang paling banyak ibadanya kepada Alalh, karena sangat takut dan merasa selalu berada di bawah pengawasan-Nya. Dia shalat, puasa, berjihad, bersikap adil, membelanjakan hartanya di jalan Allah, serta memelihara waktu-waktunya dan mencurahkan waktu, air mata, dan darah untuk melayani kalimat: "laa illaaha illalloh" dan demi meninggikannya. Oleh karena itulah, dia termasuk orang yang paling terdahulu dengan amal ini.
Rasulullah shallahu alaihi wassalam bersabda: "Maukah kutunjukkan kepadamu pintu-pintu kebikan?" Beliau mengenal berbagai macam karakter manusia, potensi, dan batas kekuatan mereka.
Seorang lelaki datang kepadanya, lalu berkata, "Wahai Rasulullah, tunjukilah aku suatu amal", atau "Wahai Rasulullah, perintahkanlah kepadaku suatu amal", lalu beliau memesankan suatu amalan kepadanya.
Seorang yang lemah lagi bertubuh kurus datang kepadanya, lalu berkata, "Wahai Rasulullah tunjukkilah aku suatu amalan," maka beliau bersabda:
"Hendaknyalah bibirmu tetap basah karena berdzikir kepada Allah."(HR. Tirmidzi)
Seandainya Rasul shallahu alaihi wassalam memerintahkan kepadanya untuk puasa atau berjihad, tentulah dia tidak akan mampu mengerjakannya.
Seorang lelaki datang kepada beliau meminta restu untuk berjihad, yaitu jihad sunnah, bukan jihad wajib, maka Rasulullah shallahu alaihi wassalam, bertanya, "Apakah kamu masih punya dua orang tua?". Lelaki itu menjawab, "Masih!". Rasulullah SAW bersabda:
"Berbaktilah kamu kepada keduanya!". (HR. Tirmidzi)
Lelaki lain datang kepadanya dan berkata: "Tunjukkanlah aku suatu amal". Rasulullah SAW menjawab: "Kerjankanlah puasa, karena sesungguhnya puasa adalah amal yang tiada taranya". (HR. Ibnu Hibban)
Yang lain lagi datang, lalu berkata: "Tunjukkanlah aku suatu amal yang menyami jihad". Rasulullah shallahu alaihi wassalam, "Aku tidak menemukan (persamaannya)". (HR. Bukhari)
Nabi shallahu alaihi wassalam bersabda: "Maukah kutunjukkan kepadamu pintu-pintu kebaikan? Puasa adalah tameng".
Puasa ini adalah suatu yang menakjubkan. Ia adalah untuk mendidik rohani. Di dalamnya terkandung berbagai manfaat dan faidah yang hanya diketahui oleh Allah Ta'ala.
Oleh karna itu, saya pesankan kepada anda da juga kepada diri saya sendiri untuk menggunakan kesempatanyang luang guan memperbanyak puasa sunnah, seperti puasa hari 'Asyura yang dilakukan pada tanggal 10 bulan Muharram dan disunnahkan melakukan puasa sehari sebelumnya dan sehari sesudahnya.
Melakukan puasa pada hari tersebut disunnahkan sebagaimana yang disebutkan dalam hadist shahih bahwa Rasullah shallahu alaihi wassalam pernah bersabda: "Aku memohon perhitungan kepda Allah semoga puasa hari itu dapat menghapuskan dosa tahun tahun sebelumnya". (HR. Muslim)
Setahun penuh lagi lengkap semuadosa yang dilakukan padanya dihapuskan oleh Allah Ta'ala berkat melakukan puasa pada hari 'Asyura ini. Disebutkan bahwa para shahabat ra adalah orang yang paling banyak melakukan puasa.
Dalam medan peperangan terkdang seorang muslim memberikan dispensasi kepada dirinya sendiri, karena ia sedang bertempur adu pedang dan adu tombakdengan musuh. Lalu ia mengatakan: "Mengapa aku musti puasa! Sebaiknya aku makan saja agar tubuhku kuat menghadapi peperangan".
Akan tetapi, dijumpai di kalangan sebagian shahabat yang tetap puasa, meskipun pedang musuh mengancam kepalanya, seperti Abdullah Ibnu Rawahah ra. Seorang penyair dan seorang jagoan yang masih muda lagi pemberani.
Dia merelakan dirinya sebagai tumbal di jalan Allah, dan Allah menerima pengorbanannya itu dengan menerima yang baik dan memang Allah Ta'ala menerima kebenaran orang-orang yang benar.
Dalam perang Mu'tah dia puasa, padahal dia berperan sebagai penglima pasukan. Dia memegang tampuk kepemimpinan yang ketiga sesudah Zaid ibn Haritzah ra dan Ja'fa ibnu Abu Thalib ra. Ketika Rasul shalahu alaihi wassalam mengirim pasukan kaum muslimin, seluruhnya berjumlah 3.000 personil, sedang jumlah pasukan musuh sebagaimana disebutkan salah seorang ahli sejarah kurang ada 180.000 personil.
Kedua belah fihak berhadapan. Ketka para shahabat melihat jumlah pasukan musuh yang amat besar yang datang bagaikan gunung, sebagiannya mengiringi sebagian yang lain bagaikan gelombang air bah. Mereka harus menghadapi 180.000 pasukan, setiap divisi yang berjumlah 1.000 orang mempunyai komandannya sendiri dan setiap divisi telah mengetahui tugasnya bahwa mereka bermaksud untuk menjajah Jazirah Arab, mengalahkan pasukan Islam, dan menghentikan dakwah Nabi shalallahu alaihi wassalam.
Abdullah ibnu Rawahah yang puasa lagi berjihad itu mengatakan: "Hai manusia, sesungguhnya kita keluar untuk salah satu diantara dua kebaikan, yaitu gugur di jalan Allah dan mati syahid atau beroleh kemenangan dan kejayaan bagi Islam. Demi Tuhan ang jiwa Abdullah ibnu Rawwahah berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, aku tidak mau pulang sebelum mati syahid atau Islam beroleh kemenangan".
Selanjutnya, ia mengambil sarung pedangnya dan mematahkannya dengan lututnya. Sikap ini menurut tradisi orang-orang Arab adalah sangat berbahaya atau siap mati. Zaib ibnu Haritzah maju sebagai panglima, lalu gugur, kemudian digantikan oleh Ja'far dan ia pun gugur pula. Selanjutnya, datang giliran Abdullah ibn Rawwahah untuk memegang panji, yait panji "laa ilaaha illallah", bertepatan dengan mendekatnya saat mentari tenggelam yang sinarnya mulai menguning, sedang Abdullah ibnu Rawwahah dalam keadaan puasa. Dia tidak merasakan adanya ludah di mulutnya karena kekeringan, sedang dia masih berada diatas kudanya.
Ketika ia dipanggil, langsung menjawab: "Ya!". Manakala mereka berkata bahwa Ja'far telah gugur, maka ia segera maju menggantikan perannya. Ia berkata: "Berikanlah kepadaku suatu makanan untuk menguatkan tubuhku, karena sesungguhnya hari ini aku sedang berpuasa". Mereka pun memberinya sepotong daging dan ia langsung mengambilnya untuk dimakan. Ketika hendak menguyahnya, ternyata ia tidak merasakan apa pun dari makanan itu mengingat para shahabat banyak yang mati kepala mereka banyak dibabat dari atas kuda. Dia meliaht anak paman Rasulullah, Ja'far, ditebas dan dibunuh dihadapannya, dan dia melihat Zaid ibn Haritzah dibunuh dan ditebas.
Ia mengambil pedangnya dan mengucapkan bait-bait syair berikut:
"Aku bersumpah, wahai diriku, engkau harus turun tangan atau engkau akan dikalahkan, jika orang-orang telah bersumpah, dan telah menencangkan tali kendali kudanya, mengapa kulihat engkau tidak suka kepada Surga, padahal tiada lain engkau hanyalah berasal dari nufthfah yang hina".
Selanjutnya, Abdullah ibnu Rawwahah ra memacu kudanya mamsuki barisan musuh dan bertempur dengan sengitnya, hingga akhirnya dia gugur bersamaan dengan tenggelamnya matahari, sedang Rasulullah shallahu alaihi wassalam mengikuti jalannya pertempuran dari Madinah.
Pertempuran berlangsung di bumi Amman (Yordania), tetapi Allah membuka hijab bagi Nabi Shallahu alaihi wassalam, sehingga beliau shallahu alaihi wassalam dapat melihat pasukan kaum muslim, jalannya peperangan, dan kekuatan mereka. Orang-orang pun berkumpul, sedang beliau shallahu alaihi wassalam menangis di atas mimbarnya dengan suara tangisan yang disembunyikan seraya bersabda:
"Sesungguhnya telah berlalu dihadapanku tiga buah dipan (katil), sedang pada dipan Abdullah ibnu Rawwahah terdapat suara gemuruh dan sesungguhnya mereka masuk Surga semuanya. Semoga Alah meridhai mereka dan membuat mereka puas". (HR. Thabrani)
Wallahu'alam.

sumber: eramuslim

2 Desember 2011

Belajar Kesederhanaan dari Kiai Rasimin

Belajar Kesederhanaan dari Kiai Rasimin

Senin, 28 November 2011 07:40 WIB
Oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA


Kiai Ahmad Muhammad Rasimin tinggal di Kampung Jaha, empat kilometer selatan Anyer. Beliau memimpin pesantren salaf. Kehidupannya sangat sederhana. Rumahnya tidak lebih indah dari bilik-bilik para santri. Tak terlihat ada kendaraan bermotor di rumahnya, apalagi mobil.

Para santrinya tinggal di gubuk-gubuk bambu. Antara santri laki-laki dan perempuan dipisahkan oleh sebuah sungai kecil. Para santri laki-laki mandi di kolam yang dialiri oleh sungai tadi, sedangkan para santri perempuan mandi di kamar mandi milik masjid kampung.

Beberapa tahun silam, saya diminta berkhotbah di masjid kampung itu. Setelah itu, kami makan siang di rumah Kiai Rasimin. Sebelum berkhotbah, saya diminta untuk berceramah selama 20 menit dengan menggunakan pengeras suara. Kemudian, saat berkhotbah, saya diminta untuk membaca teks khotbah yang hanya berbahasa Arab dan pengeras suara dimatikan. Teks khotbah kami baca kurang lebih lima menit, sesudah itu kami melaksanakan shalat Jumat.

Kiai Rasimin sangat tawadu. Suatu hari, beliau diminta oleh wali kota Cilegon untuk menunaikan ibadah haji karena belum berhaji. Waktu itu, biaya untuk beribadah haji sebesar tujuh juta rupiah. Namun, tawaran itu ditolak dengan alasan beliau belum wajib berhaji karena belum mampu.

Beliau memberikan solusi agar uang untuk berhaji itu digunakan untuk membangun jembatan yang menghubungkan antara kampung bagian timur dan barat. Sehingga, manfaatnya lebih besar dan pahalanya akan terus melimpah karena ekonomi kampung itu menjadi semarak. Sedangkan jika berhaji untuk beliau, pahalanya kecil. Saran itu pun diterima oleh wali kota Cilegon.

Ketika berkunjung ke Kampung Jaha beberapa waktu lalu, jembatan itu sudah lama dibangun. Dan, Kiai Rasimin masih tetap belum berhaji. Kami sungguh sangat mengagumi sikap dan perilaku Kiai Rasimin. Beliau lebih mendahulukan kepentingan umat daripada kepentingannya sendiri. Barangkali perilaku di negeri kita yang seperti Kiai Rasimin ini jarang dijumpai. Kebanyakan oknumoknum kiai di Indonesia justru bersikap sebaliknya, mereka merengekrengek kepada penguasa untuk dapat diberangkatkan ke Makkah.

Beberapa tahun lalu, saat diselenggarakannya Seminar Zakat di Padang, Sekretaris Dewan Fatwa Suriah, Prof Dr Ala al-Din al-Za'tari, menceritakan kehidupan seorang syekh. Suatu hari, syekh ini kedatangan tamu yang bermaksud meminta restu untuk berhaji yang kedua kali. Syekh memberikan saran agar biaya berhaji kedua itu digunakan untuk membantu anak yatim. Sang tamu pun menuruti nasihatnya.

Tahun berikutnya, sang tamu datang lagi, dan syekh memberikan saran agar keinginannya untuk berhaji yang kedua diberikan untuk membantu janda-janda miskin di kampungnya. Ia pun kembali ke kampungnya dan menyerahkan uangnya untuk janda-janda miskin, sebagaimana saran syekh.

Setahun kemudian, sang tamu datang lagi dan menyampaikan keinginan yang sama untuk berhaji. Lagi-lagi, syekh ini memberikan saran agar uangnya diberikan kepada orang fakir yang tak punya rumah di kampungnya. Karena menurut syekh, membantu orang yang membutuhkan (miskin), jauh lebih bermanfaat dibandingkan berhaji berulang-ulang.
Tulisan ini dimuat di Republika cetak dengan judul Kesederhanaan Kiai Rasimin